Written by Ipung Araffah
Duh, gadisku yang kini menjadi mayat. Aku rindu.
Tak adakah
kau simpan mata perawan yang menggaruk rona pipimu? Kemarilah! Kecuplah
ubun-ubunku! Lalu tumpahkan kedalam cawan selir-selir ungu. Duh, gadisku. Aku
rindu. Sungguh.
*****
Bukankah ayah selalu bercerita padamu tentang segala hal? Tentang masa kecil ayah yang belangsak. Tentang obat pelangsing Ibu yang dicuri kucing piaraan tetangga. Tentang burung kutilang ayah yang bulunya rontok. Atau tentang senja yang merobek langit jingga? Maka dengarkan! Dengarkan anakku! Pada sebilah rindu, kau akan bertahan.
I
"Apa itu paman? Suara apa itu?" Tanya polos seorang bocah yang harus terbangun dari tidurnya yang lucu karena suara dentuman keras. Bukan hanya gadis kecil itu. Kami, para relawan dan puluhan pengungsi sipil Palestina di camp pengungsian Jabaliya itu pun dikagetkan oleh suara ledakan dahsyat itu.
"Itu adalah suara panggilan yang menjemput para kekasih Allah, Nak : para Syuhada. Suara itu jugalah yang dulu memanggil ayah dan ibumu, sehingga kuburan mereka seharum bunga kesturi. Apakah kau takut anakku?"
Gadis bermata bulat itu memandang tajam mata pamannya beberapa detik sebelum akhirnya melepaskan senyum dan dengan tegas menggelengkan kepala.
"Alhamdulillah. Mari kita tidur lagi, anakku". Pria paruh baya itu lalu menyelimuti tubuh mungil sang gadis kecil dengan jubahnya yang harum. Dengan wajah sejuk, mereka kembali melanjutkan tidur.
Sejak saat itu aku berkesimpulan : Bom adalah hal yang biasa di sini. Di tanah Palesina.
Ya, begini anakku, akan kukisahkan pertemuanku dengan gadis luar biasa itu. Duduklah! Dan dengarkan baik-baik ceritaku ini.
Gadis kecil itu bernama Wafa Thahirah. Ia selalu membuatku berdecak kagum. Aku ingat pertemuan pertamaku dengannya. Saat itu beberapa bagian tubuh sebelah kiri gadis itu terluka karena tertembus pecahan dinding saat tentara Israel membombardir kawasan utara gaza itu. Lukanya cukup parah. Tapi yang membuatku heran, gadis itu sama sekali tak menangis. Ia hanya sesekali menyeringai menahan rasa sakit.
"Kau pasti heran kenapa anakku tak menangis kan, dokter Indonesia?" Terka seorang lelaki tua yang belakangan kuketahui sebagai paman sang gadis.
"Kau orang asing kesekian yang menyimpan rasa heran itu, makanya aku bisa dengan mudah menebak".
Pria berjanggut lebat itu lalu mengajakku ke luar dari ruangan tempat dimana Wafa dirawat.
"Roket dan bom tentara zionis telah membunuh ayah dan ibunya dua tahun yang lalu ketika usianya baru menginjak tahun ketujuh. Sejak saat itulah dia tidak pernah menangis. Aku mengira dia mengalami trauma atau sebuah penyakit yang membuatnya tak bisa menangis. Tapi ketika ku tanya kenapa dia tak pernah menangis, maka dia menjawab: "Paman, aku tidak lagi mempunyai ayah dan ibu yang biasanya menghapus air mataku, maka bagaimana bisa aku menangis?".
Lalu aku menjawab, "Kau benar anakku. Sebagai seorang paman, aku takkan pernah sudi menghapus air matamu yang kau tumpahkan hanya karena perbuatan kafir zionis. Tujuan mereka memang menyakiti kita, dan menangis karena perbuatan mereka adalah bukti bahwa kita tersakiti oleh mereka, dengan begitu tujuan mereka menyakiti kita telah tercapai. Maka janganlah menangis karena perbuatan mereka anakku! Tegakkan kepalamu, maka mereka tidak akan pernah bisa menyakitimu! Simpanlah tangismu hanya untuk Allah!
Kemudian anakku menjawab, "Tidaklah ada keraguan dalam diri kami dan tidak pula kami bersedih hati. Aku berjanji aku tidak akan pernah merasa takut pada roket canggih mereka, pada bom White Phosphor mereka, pada senapan Tavor mereka, pada tank-tank Merkava mereka yang gagah, pada intimidasi mereka, pada boikot makanan mereka. Aku hanya takut pada Allah"
"Mereka berpikir bahwa mereka telah berhasil membakar mesjid-mesjid kita nak, tanpa mereka sadari bahwa mesjid kita adalah bumi Allah yang luas. Maka janganlah bersedih, anakku, meskipun kita terusir dari mesjid kita sendiri".
*****
Aku biru. Sedang kau hijau. Adakah kau dengar kata yang diucapkan adam pada hawa? Sebuah kata yang tersimpan rapi dalam belanga berkarat cokelat. Itulah belanga hatimu, gadisku.
II
"Anak-anak berbadan kurus itu mengacungkan tangan kanan mereka yang jemari-jemari kecilnya menggenggam batu-batu kasar. Sementara di hadapan mereka tank-tank tentara Israel yang ukurannya sebesar rumah mereka, siap menghancurkan kepala mungil anak-anak dekil itu.
Intifadah, begitu kami menyebutnya. Intifadah yang berarti 'pemberontakan' dalam Bahasa Arab, adalah nama untuk perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok orang Palestina, yang bersenjatakan batu-batu, melawan tentara Israel yang dilengkapi senjata-senjata canggih. Maka begitulah anak-anak itu. Mereka siap mengusir tentara Israel dengan melempari tank-tank raksasa berlapis baja itu dengan batu-batu sebesar kepalan tangan mereka.
Agar bisa mencapai Gaza City, Israel harus menaklukkan wilayah kami, Jabaliya. Jabaliya adalah sebuah wilayah penting di kawasan utara Gaza yang menjadi lapis pertahanan pertama menuju Gaza City. Tak heran jika peran anak-anak bersenjata batu dan ketapel itu menjadi sebuah ujung tombak perlawanan untuk mengusir para tentara Israel.
Namun siapapun bisa menyangka, batu melawan senjata modern pastilah tak sebanding. Alhasil tentara-tentara gagah itu berhasil memberondong jantung dan lambung anak-anak berusia belasan tahun itu dengan senapan serbu mereka yang ganas. Moncong-moncong tank Merkava menghancurkan kepala anak-anak bersenjatakan batu itu. Sebagian yang lain dipatahkan tangan dan kakinya, kemudian dijebloskan ke penjara tanpa peradilan. Namun demikian, atas pertolongan Allah, beberapa diantara mereka berhasil lolos dari serangan membabibuta para tentara itu.
Dan kau tahu dokter Indonesia? Salah satu dari anak-anak yang lolos dari kematian itu adalah aku. El-Ghazi".
Aku masih duduk bersila mendengarkan kisah lelaki berjanggut itu, Nak. Di hadapanku, secawan Maqluba, makanan khas Palestina serupa nasi kebuli di Indonesia, masih terhidang utuh dalam cawan alumunium. Aku tak berani mencicipinya, sebelum pria murah senyum itu berhenti berkisah.
"Mendengar ceritaku, kau pasti menyangka bahwa orang tua kami mengajarkan kekerasan. Kau salah dokter. Orang tua kami tak pernah mengajarkan kekerasan. Mereka hanya mengajarkan dua hal seperti yang kuajarkan pada keponakanku, Wafa. Yaitu: Jangan bersedih atau menangis dan jangan ragu atau takut. Justru yang memaksa kami ber-intifadah adalah intimidasi kafir zionis yang memaksa para tentara itu menyakiti kami. Tanpa mereka ketahui bahwa kami tak mudah untuk disakiti. Tak ada keraguan dalam diri kami dan tidak pula kami bersedih hati".
To be Continue...
Temukan kisah selanjutnya di Buku Antologi Cerpen "Galau"
Rp. 34.900,- (Belum termasuk Ongkir)
RECEIVED ORDER, contact : 083874527701
Tidak ada komentar:
Posting Komentar